Selasa, 24 Februari 2009

KEMATIAN

Keberadaan saya melalui proses kelahiran dan menjalani kematian sedangkan jiwa tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mati. Jiwa kita dimasukkan pada raga pada saat dikandung oleh ibu kita yaitu pada hari ke 40, sesuai dengan pemahaman agama maupun ilmu pengetahuan. Pada saat raga kita lemah dan tidak dapat di tumpangi oleh jiwa kita, maka jiwa kita akan mengalahkan raga kita , proses itu dikenal dengan kematian, yang jadi pertanyaan?akan pergi kemana jiwa kita? Dari pemahaman ini maka berarti bahwa fitrah jiwa adalah bebas, yang sementara didunia menumpangi raga untuk mencapai tujuan kehidupan setelah mati , raga melalui proses dilahirkan kemudian dewasa dan akhirnya lemah menjadi dua dan kemudian mati dalam waktu ,

KEPEMIMPINAN

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan organisasi agar semua fungsi organisasi dapat berjalan dengan baik oleh karena itu dibutuhkan kepmimpinan dalam mengambil keputusan dengan tepat dan cepat. Hal ini diperlukan dikarenakan dewasa ini dipersembahkan di dunia terjadi sangat cepat membutuhkan penyesuaian dengan cepat sehingga organisasi perlu diperlakukan sebagai makhluk hidup yang selalu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Keadaan ini kadang harus membutuhkan sesuatu dengan cepat tanpa sempat melahirkan penyimpulan intervensi yang lengkap. Kesempatan memutuskan sesuatu dengan cepat dapat dikembangkan sejalan dengan pengalaman, hidup yang membangun kematangan jiwa dapat mengembangkan kemampuan dibawah sadar. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan di bawah sadat dapat menilai sesuatu hanya membutuhkan waktu sekejap dengan kualitas yang tidak berbeda dengan penilaian yang didasarkan pada dari informasi yang lengkap yang mana benar memerlukan waktu yang lama. Kemampuan dibawah sadar sangat pemimpin dalam melaksanakan fungsi-fungsi managerial secara efektif dan efisien.

Jumat, 20 Februari 2009

Neng Lenny

Pernah lihat anak rusa tutul di Istana Bogor?
Berlarian dan berlompaan dengan riang
Ekspresif bak balita yang mengemaskan
Lenny lebih lucu daripada anak rusa tutul
Tetapi sekaligus menentramkan adalah kebersajaanya menghadapi masalah
Dia bilang, anggap saja masalah sebagai tantangan
Aku suka orang yang optimis terlebih jika dia mencintaiku

Kamis, 19 Februari 2009

Social Judgement Theory (Teori Pertimbangan Sosial)

Latar Belakang
Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog dari Oklahoma University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.
Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial tersebut menerut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif menegaskan bahwa tindakan memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah proses persepsi. Di sini kita menimbang setiap gagasan baru yang menerpa kita dengan cara membandingkannya dengan sudut pandang kita saat itu.
Lalu apa rujukan yang menjadi sudut pandang seseorang dalam menilai suatu pesan?Menurut Sherif ada tiga rujukan yang digunakan seseorang untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang saling terkait. Yang pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi. Bagian kedua disebut latitude of rejection (rentang penolakan) yang mencakup pendapat atau gagasan-gagasan yang kita tolak karena bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan), dan yang terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki opini apa-apa sehingga bersifat netral terhadap pokok permasalahan yang ada.
Disamping ketiga konsep pokok diatas, masih ada satu konsep penting lainnya dari teori yang disebut ego-involevement yakni derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang. Meskipun tiga konsep ”latitude” yang dikemukan teori pertimbangan sosial sudah cukup memadai dalam menjelasakan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap pesan-pesan persuasif namun derajat penting tidaknya suatu stimulus (ego-involvement) akan turut menentukan sejauhmana seseorang dapat dipengaruhi. Dengan kata lain makin berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi.
Dalam teori ini juga dijelaskan adanya dua macam efek yang timbul akibat proses menilai atau mempertimbangkan pesan yakni efek asimilasi (assimilation effect) dan efek kontras (contrast effect).
Efek asimilasi terjadi ketika seseorang menempatkan sebuah pesan persuasif dalam rentang penerimaan dan pesan-pesan tersebut mendekati pernyataan patokan (kerangka rujukan) yang ada. Karena pesan tersebut mendekati pernyatan patokan, maka pesan tersebut akan diasimilasi atau dianggap mirip dengan patokan yang ada dan dijadikan satu kelompok. Asimilasi ini merupakan efek gelang karet, dimana setiap pernyataan baru dapat ”ditarik” mendekati pernyatan patokan sehingga tampak menjadi lebih dapat diterima daripada keadaan sebenarnya. Orang yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan tersebut tampak sejalan dengan patokannya.
Pernyataan yang berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda (kontras) dan bertentangan dengan pernyataan patokan meskipun sebenarnya perbedaan tersebut tidak terlalu jauh. Karena kita memperbesar perbedaan maka sebuah pesan yang seolah-olah bertentangan sepenuhnya dengan patokan yang ada. Akhirnya pesan tersebut kita tolak.

Asumsi-Asumsi Pokok/Konsep
Asumsi-asumsi pokok dalam social judgement theory (Teori pertimbangan sosial) adalah :
1. Latitude of acceptance (rentang atau wilayah Penerimaan)
Proses pertimbangan di atas menurut Sherif & Hovland (1961) berlaku baik untuk pertimbangan fisik (misalnya; berat) maupun pengukuran sikap. Walaupun demikian ada 2 perbedaan antara pertimbangan terhadap situasi fisik yang bersifat obyektif dengan sikap. Dalam sikap, individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek dan ini mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek tersebut. Kedua, pertimbangan sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain, padahal dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar.
Perbedaan-perbedaan atau variasi antara individu ini mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang (latitude), Garis lintang penerimaan (latitude of acceptance) adalah rangkaian posisi sikap diterima atau ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan (latitude of rejection) adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima oleh individu. Garis lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment) adalah posisi-posisi yang tidak termasuk dalam dua garis lintang yang pertama. Jadi individu tidak menerima, tetapi juta tidak menolak, acuh tak acuh.
Interaksi antara garis-garis lintang inilah yang akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan tertentu dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang penerimaan, maka individu akan setuku dengan pernyataan itu. Jika pernyataan itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya.

2. Latitute of rejection (rentang Penolakan)
Jika seseorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya.
Makin terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyak pun dia anggap perlu.

5. Latitute of noncommitment (rentang keterlibatan)
Komunikasi, menurut Sherif & Hovland, bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap-sikap orang lain, tetapi bisa juga malah makin menjauhkannya. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap posisi individu-individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan lebih memperjelas persamaan-persamaan antara mereka dan dekatnya posisi mereka sehinga terjadilah pendekatan-pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal sudah saling berjauhan, maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam situasi isu, maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ; cukup beralasan, dapat dimengerti dan sebagainya.
Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati posisi-posisi lain tersebut. Sebalinya, posisi-posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin menjauh.



Aplikasi
1. Melukiskan bagaimana teori pertimbangan sosial bekerja, perhatikan sebuah eksperiman menarik yang dilakukan oleh sekelompok peneliti tidak lama sesudah Oklahoma mengeluarkan sebuah hukum pelarangan pada tahun 1950-an. Para peneliti itu merekrut sejumlah orang yang sangat terlibat dalam masalah tersebut pada satu sisi atau sisi lainnya, dan sejumlah orang yang keterlibatannya dalam masalah itu sedang-sedang atau sedikit saja. Mereka menemukan bahwa mereka yang keterlibatan egonya besar dan ekstrim pendapatnya memiliki rentang penolakan yang lebih jauh lebih besar daripada mereka yang keterlibatan egonya sedang-sedang saja, dan para subyek yang sedang-sedang saja tadi memiliki rentang non komitmen yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang pendapat ekstrim. Menariknya, ketika diberi pesan moderat yang sama, mereka yang ekstrim menilainya sebagai sesuatu yang jauh lebih ke arah sisi non pelarangan dibanding subyek-subyek lain, sebaliknya mereka lebih ”lunak” menilainya lebih mengarah pada sisi pelarangan ketimbang subyek-subyek lainnya. Dengan kata lain, kedua kelompok yang berlawanan tersebut memuat sebuah efek tentangan. Secara umum perubahan sikap yang dialami oleh mereka yang sedang-sedang saja setelah mendengar pesan tentang masalah tersebut mengalami perubahan sikap yang kira-kira dua kali lebih besar daripada mereka yang sangat terlibat dalam masalah itu.
2. Rentang penerimaan dan penolakan seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci keterlibatan ego. Keterlibatan ego adalah tingkat relevansi personal dari suatu masalah. Ini adalah tingkatan sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu masalah mempengaruhi konsep diri, atau tingkat penting yang diberikan pada masalah itu. Sebagai contoh, anda mungkin sudah banyak membaca tentang penipisan lapisan ozon dan sudah mempercayai bahwa ini adalah sebuah masalah serius. Jika anda belum mengalami kesulitan pribadi apapun akibat masalah ini, ia mungkin tidak penting bagi anda, karena keterlibatan ego anda rendah. Di lain pihak, jika anda sudah pernah dirawat akibat kanker kulit, masalah ini akan jauh lebih melibatkan ego. Keterlibatan ego membuat perbedaan besar dalam hal bagaimana anda merespon pesan-pesan yang berhubungan dengan sebuah topik. Meskipun anda mungkin akan memiliki sebuah pendapat yang lebih ekstrim tentang topik-topik di mana ego anda terlbat, bukan selalu demikian halnya. Anda bisa mempunyai pendapat yang biasa-biasa saja dan tetap melibatkan ego.
3. Contoh berikut semakin memperjelas kita tentang efek kontras. Anggaplah disebuah ruang eksperimen terdapat tiga buah ember. Ember pertama berisi air dingin dan ember kedua berisi air hangat, sementara ember ketiga berisi air dalam suhu normal. Seorang sukarelawan memasukan tangan kanan pada ember pertama dan tangan kiri pada ember kedua. Setelah duapuluh detik, kedua tangan tersebut dimasukkan secara bersamaan ke dalam ember ketiga. Maka perbedaan yang kontras. Tangan kanan merasa air itu panas, sementara tangan kiri merasa air itu dingin. Disini Sherif memiliki hipotesis bahwa efek kontras akan terjadi bila kita berada dalam kondisi ”panas” kemudian menerima pesan yang tidak sama dengan patokan kita yang ”panas” tersebut. Seperti pada contoh diats, bahkan pesan yang ”normal” sekalipun akan menjadi lebih ”dingin” bila diukur dengan patokan yang digunakan.

FAKTOR-FAKTOR KONSEP DIRI DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 99)

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis. Bayangkan anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri anda sendiri:
Bagaimana watak saya sebenarnya?
Apa yang membuat saya bahagia atau sedih?
Apa yang sangat mencemaskan saya?
Bagaimana orang lain memandang saya?
Apakah mereka menghargai atau merendahkan saya?
Apakah mereka membenci atau menyukai saya?
Bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?
Apakah saya orang yang cantik atau jelek?
Apakah tubuh saya kuat atau lemah?
Jawaban pada tiga pertanyaan yang pertama menunjukkan persepsi psikologis tentang diri anda; jawaban pada tiga pertanyaan kedua, persepsi sosial tentang diri anda; dan jawaban pada tiga pertanyaan terakhir, persepsi fisis tentang diri anda. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian anda tentang diri anda. Jadi konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Karena itu, Anita Taylor et al. mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself.” (1977: 98).
Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Boleh jadi komponen kognitif anda berupa “Saya ini orang bodoh”, dan komponen afektif anda berkata “Saya senang diri saya bodoh; ini lebih baik bagi saya.” Boleh jadi komponen kognitifnya seperti tadi tapi komponen afektifnya berbunyi “Saya malu sekali karena saya menjadi orang bodoh.” Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (9176: 45) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Namun sebelum melihat bagaimana pengaruh konsep diri terhadap perilaku komunikasi interpersonal kita akan meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Orang lain
Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis yang mencoba menjawab misteri keberadaan, The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita “The fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only starting from them.” Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda menilai diri saya akan membentuk konsep diri saya.
Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita. S. Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai ialah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain pada dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya, harga dirinya sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya. Eksperimen lain yang dilakukan Gergen (1965, 1972) menunjang penemuan ini. Pada satu kelompok, subyek-subyek eksperimen yang menilai dirinya dengan baik diberi peneguhan dengan anggukan, senyuman, atau pernyataan mendukung pendapat mereka. Pada kelompok lain, penilaian positif tidak ditanggapi sama sekali. Kelompok pertama menunjukkan peningkatan citra diri yang lebih baik karena mendapat sokongan dari orang lain.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George Herbert Mead (1934) menyebut mereka significant others (orang lain yang sangat penting). Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamainya affective others (orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional). Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, dan hardikan, membuat kita memandang diri kita secara negatif. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Anda mungkin memasukkan di situ idola anda (bintang film, pahlawan kemerdekaan, tokoh sejarah atau orang yang anda cintai diam-diam).
Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, tetangganya, gurunya dan sahabat-sahabatnya. Semuanya memandang Minah sebagai gadis yang nakal. Minah berpikir, “Saya nakal.” Ia menilai dirinya sesuai dengan persepsi orang lain (yang significant dan tidak) tentang dirinya. Pandangan diri anda tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap anda disebut generalized others. Konsep ini juga berasal dari George Herbert Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Bila saya seorang ibu, bagaimanakah ibu memandang saya. Jika saya seorang guru, bagaimana guru memandang saya. Mengambil peran sebagai ibu, sebagai ayah, atau sebagai generalized others disebut role taking. Role taking amat penting artinya dalam pembentukan konsep diri.
Human Relation membahas pengertian serta aspek praktik mengenai hubungan yang manusiawi sebagai dasar dalam melakukan komunikasi kehumasan dengan memahami falsafah dasar human relations serta faktor-faktor penting yang harus dilakukan dalam human relations. Human Relation juga membahas tentang hubungan kemanusiaan, faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antarmanusia, komunikasi interpersonal, komunikasi manajemen, penyelesaian masalah dalam hubungan antar pegawai.
Kegiatan human relation berupa saling perhatian, perbedaan individu, motivasi dan harga diri kurang memuaskan karyawan, tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan rendahnya mutu kerja, tanggung jawab dan hasil kerja karyawan terhadap pekerjaannya. Human relation menangani masalah dengan cara berinteraksi dengan setiap orang lain. Seringkali, keberhasilan perusahaan tergantung pada seberapa baik orang dapat bekerja bersama-sama. Menangani keluhan pelanggan dan perbedaan dengan personil senior bank dalam upaya menyelesaikan masalah dengan segera. Basa-basi sangat baik untuk mempertimbangkan dalam Human relation.
Pada kenyataannya, manusia di samping karena kodratnya sebagai makhluk sosial, zoon politicon. Juga senantiasa mengembangkan akan pemikirannya. Keadaan mana akan menimbulkan hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam membangun sebuah komunikasi yang efektif, banyak faktor yang menjadi pendukungnya, antara lain media, waktu penyampaian, dan pilihan dan susunan kata. Namun, yang paling mendasar adalah seberapa jauh pesan yang disampaikan menyentuh emosi si penerima sehingga ia bergerak sejalan dan selaras dengan isi pesan yang disampaikan, terutama bila kondisi dalam suatu hubungan industrial telah mencapai ‘Lampu Kuning’ atau bahkan ‘Lampu Merah’.
Komunikasi yang efektif perlu dilandasi dengan hubungan baik, adanya manfaat bagi semua pihak, terjadinya diskusi terbuka, menghindari tindakan emosional, mengutamakan sifat sabar, banyak mendengarkan dan selalu berbesar hati terhadap perbedaan atau tekanan, dan menghindari ungkapan ingin menang sendiri. Maka melalui penerapan NLP diharapkan seseorang dapat memahami tentang cara kerja otak atau pikiran manusia dalam menerima dan merespon informasi. Sehingga tidak akan terjadi suatu konflik. Meski menurut pandangan kaum “human relations” suatu konflik adalah sesuatu gejala yang biasa (natural) dan tidak dapat dihindari dari setiap kelompok.

HUMAN RELATIONS

Human Relations Movement refers to those researchers of organizational development who study the behavior of people in groups, in particular workplace groups. It originated in the 1920s' Hawthorne studies, which examined the effects of social relations, motivation and employee satisfaction on factory productivity. The movement viewed workers in terms of their psychology and fit with companies, rather than as interchangeable parts.
"The hallmark of human-relation theories is the primacy given to organizations as human cooperative systems rather than mechanical contraptions."
Barnard stressed the following:
1. Natural groups, in which social aspects take precedence over functional organizational structures
2. Upwards communication, by which communication is two way, from worker to chief executive, as well as vice versa.
3. Cohesive and good leadership is needed to communicate goals and to ensure effective and coherent decision making
(Wilson & Rosenfeld, Managing Organizations, McGraw Hill Book Company, London, p.9.)
It has become a concern of many companies to improve the job-oriented interpersonal skills of employees. The teaching of these skills to employees is referred to as "soft skills" training. Companies need their employees to be able to successfully communicate and convey information, to be able to interpret others' emotions, to be open to others' feelings, and to be able to solve conflicts and arrive at resolutions. By acquiring these skills, the employees, those in management positions, and the customer can maintain more compatible relationships.
(DuBrin, A. J. (2007). Human Relations Interpersonal Job-Oriented Skills, Pearson Prentice Hall, 9th. ed., New Jersey, p. 2.)
Institutes where human relations are studied include:
• the Tavistock Institute, co-publishers of the Human Relations journal;
• the NTL Institute for Applied Behavioral Science;
• The Oasis School of Human Relations (Oasis Press publishes human relations books and manuals);
• Trevecca Nazarene University, Bachelors Degree in Management and Human Relations for working adults;
• the University of Oklahoma offers a Bachelor of Arts in Human Relations, as well as a Master of Human Relations;
• the Concordia University (Montreal, Canada) offers a Bachelor of Arts in Human Relations, as well as a Master of Human Systems Intervention.


PENGERTIAN HUMAN RELATION (Onong, 2001: 138; Alo, 1997: 28, 42)
Hubungan manusiawi adalah terjemahan dari human relation. Ada juga orang yang menerjemahkannya menjadi “hubungan manusia” dan “hubungan antarmanusia”, yang sebenarnya tidak terlalu salah karena yang berhubungan satu sama lain adalah manusia. Hanya saja, di sini sifat hubungan tidak seperti orang berkomunikasi biasa, bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain, tetapi hubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.

Ditinjau dari ilmu komunikasi, hubungan manusiawi itu termasuk ke dalam komunikasi antarpersona (interpersonal communication) sebab berlangsung pada umumnya antara dua orang secara dialogis. Dikatakan bahwa hubungan manusiawi itu komunikasi karena sifatnya action oriented, mengandung kegiatan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang.

Komunikasi antar pribadi yang manusiawi berarti komunikasi yang telah memasuki tahap psikologis yang komunikator dan komunikannya saling memahami pikiran, perasaan dan melakukan tindakan bersama. Ini juga berarti bahwa apabila kita hendak menciptakan suatu komunikasi yang penuh dengan keakraban yang didahului oleh pertukaran informasi tentang identitas dan masalah pribadi yang bersifat sosial.

TEKNIK-TEKNIK HUMAN RELATION (Onong, 2001: 141)
“Hubungan manusiawi dapat dilakukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi, meniadakan salah pengertian dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia.” Demikian kata R.F. Maier dalam bukunya, Principle of Human Relation.

Dalam derajat intensitas yang tinggi, hubungan manusiawi dilakukan untuk menyembuhkan orang yang menderita frustasi. Frustasi timbul pada diri seseorang akibat suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan olehnya. Dalam kehidupan sehari-hari siapa pun akan menjumpai masalah: ada yang mudah dipecahkan, ada yang sukar. Akan tetapi masalah yang bagaimanapun akan diusahakan supaya hilang. Orang tidak akan membiarkan dirinya digumuli masalah. Dan masalah orang yang satu tidak sama dengan masalah orang lain. Sakit, tidak lulus ujian, lamaran pekerjaan tidak diterima, mobil rusak, istri menyeleweng, anak morfinis, tidak mampu menyelesaikan tugas, permohonan tidak diterima, dan lain-lain itu semua bisa menyebabkan seseorang frustasi.

Orang yang menderita frustasi dapat dilihat dari tingkah lakunya: ada yang merenung murung, lunglai tak berdaya, putus asa, mengasingkan diri, mencari dalih untuk menutupi kemampuannya, mencari kompensasi, berfantasi, atau bertingkah laku kekanak-kanakan. Yang lebih parah bagi seseorang ialah apabila frustasinya disertai agresi sehingga tingkah lakunya menjadi agresif. Ia mengambinghitamkan orang lain, menyebarkan fitnah, merusak benda, bahkan menyerang orang, baik dengan kata-kata yang menyakitkan maupun dengan tinju.

Apabila frustasi itu diderita oleh karyawan, apalagi jika jumlahnya banyak ini akan mengganggu jalannya organisasi akan menjadi rintangan bagi tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Tidaklah bijaksana jika seorang pemimpin menangani pegawai yang frustasi dengan tindakan kekerasan. Di sinilah pentingnya peranan hubungan manusiawi. Dia harus membawa penderita dari problem situation kepada problem solving behaviour.

Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bis adigunakan untuk membantu mereka yang menderita frustasi yakni apa yang disebut counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat, dapat di-Indonesia-kan menjadi konseling). Yang bertindak sebagai konselor (counselor) bisa pemimpin organisasi, kepala humas, atau kepala-kepala lainnya (kepala bagian, seksi, dan lain-lain).

Tujuan konseling ialah membantu konseli (counselee), yakni karyawan yang menghadapi masalah atau yang menderita frustasi, untuk memecahkan masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasihat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur, tidak akan dapat diambil langkah-langkah pemecahannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan berhasil apabila ia memahami benar-benar frame of reference konseli: pengalamannya, taraf pengetahuannya, agamanya, pandangan hidupnya, dan sebagainya.

Dalam kegiatan hubungan manusiawi terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah.

EVASI DAN HAMBATAN HUMAN RELATION (Onong, 2003: 50; Hafied: 131)
Hambatan human relation pada umumnya mempunyai dua sifat: objektif dan subjektif.
Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan terhadap jalannya human relation yang tidak disengaja dibuat oleh pihak lain tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan. Gangguan cuaca terhadap jalannya pidato radio, gangguan lalu lintas terhadap ceramah di sebuah tempat tepi jalan raya merupakan rintangan yang berisfat objektif. Rintangan atau hambatan yang bersifat objektif ini mungkin pula disebabkan oleh kurangnya kemampuan berkomunikasi misalnya “field of experience” yang tidak “in tune” antara komunikator dan komunikan, approach penyajian yang kurang baik, timing yang tidak cocok, penggunaan media yang keliru, dan sebagainya.

Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh orang lain sehingga merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi.

Dasar gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.

Faktor kepentingan dan prasangka merupakan faktor yang paling berat karena usaha yang paling sulit bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi dengan orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator atau menyajikan pesan komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu suatu kepentingan.

Apabila seseorang dikonfrontasikan dengan suatu bentuk komunikasi yang tidak disukainya karena mengganggu kedudukan pendidikan, atau kepentingannya maka orang tersebut biasanya mencemoohkan komunikasi tersebut atau mungkin pula mengelakkan dan secara acuh tak acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai hal yang sukar dimengerti.

Gejala mencemoohkan dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi, dinamakan evasion of communication.


FAKTOR-FAKTOR PERSEPSI INTERPERSONAL DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 80)

Persepsi kita bukan sekedar rekaman peristiwa atau objek. Komputer hanya mengolah input yang dimasukkan pada waktu punching. Bila pada kolom 12 ditulis tujuh, komputer tidak akan mengubahnya menjadi delapan. Tidak begitu persepsi manusia. Pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya, menentukan interpretasi kita pada sensasi. Bila objek atau peristiwa di dunia luar kita sebut distal stimuli dan persepsi kita tentang stimuli itu kita sebut percept maka percept tidak selalu sama dengan distal stimuli. Proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli disebut Fritz Heider sebagai constructive process. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi.

Pada tahun 1950-an di kalangan psikolog sosial timbul aliran baru (disebut “new look”) yang meneliti pengaruh faktor-faktor sosial seperti pengaruh interpersonal, nilai-nilai kultural dan harapan-harapan yang dipelajari secara sosial, pada persepsi individu, bukan saja terhadap objek-objek mati tetapi juga pada objek-objek sosial. Lahirlah istilah persepsi sosial yang didefinisikan sebagai “the role of socially generated influences on the basic processes of perception” (McDavid dan Harari, 1968: 173). Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an fokus penelitian tidak lagi pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi persepsi tetapi pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Mereka tidak lagi meneliti bagaimana tanggapan anda pada titik, balok, atau pohon beringin; mereka mempelajari bagaimana tanggapan anda pada istri anda, bos anda di kantor, atau teman anda di fakultas, bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda menjelaskan mengapa tokoh TV itu bunuh diri. Persepsi sosial kini memperoleh konotasi baru sebagai proses mempersepsi objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Untuk tidak mengaburkan istilah dan untuk menggarisbawahi manusia (dan bukan benda) sebagai objek persepsi, di sini kita menggunakan istilah persepsi interpersonal. Persepsi pada objek selain manusia kita sebut saja persepsi objek.

Manakah yang lebih cermat, persepsi objek atau persepsi interpersonal? Mana yang lebih besar kemungkinan salahnya? Mana yang lebih sulit? Kumpulkan sepuluh orang mahasiswa di ruangan kelas, suruh mereka mengamati papan tulis di muka, mintakan persepsi mereka tentang papan tulis itu. Besar dugaan kita persepsi mereka tidak begitu berbeda. Sekarang hadirkan di muka mereka Sarah Azhari, suruh mereka mengamatinya (mana tahan!) dan mintakan mereka memberikan komentar tentang Sarah Azhari, terangkan sifat-sifatnya. Besar dugaan kita, persepsi mereka akan sangat beragam. Mengapa?

Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek, stimuli ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik: gelombang, cahaya, gelombang suara, temperatur dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Sebelum berjumpa dengan Sarah Azhari, kita pernah melihatnya di layar film atau televisi, mendengar tentang dia dari surat kabar, majalah,a tau desas-desus. Adanya pihak ketiga yang menjadi mediasi stimuli, mengurangi kecermatan persepsi kita.

Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan saja tindakan tetapi juga motif tindakan itu. Dengan demikian stimuli kita menjadi sangat kompleks. Kita tidak akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain dan berbagai dimensi perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ini jelas membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek.

Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Perasaan anda dingin saja ketika anda memandang papan tulis; tetapi sedingin itu jugakah ketika anda memandang Sarah Azhari? Apakah Sarah Azhari juga akan diam saja ketika Anda memandangnya tidak berkedip? Dalam persepsi interpersonal faktor-faktor personal anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang tersebut menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung untuk keliru. Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentukan persepsi siapa yang keliru: persepsi anda atau persepsi saya.

Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda lihat minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di sudut sudah hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok hari. Kemarin anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih karena sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena ujian anda lulus. Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid. Perubahan ini kalau tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.

Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku mereka. Dari mana kita memperoleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang menyebabkan kesimpulan kita bahwa X bersifat Y? Kita sebenarnya adalah Sherlock Holmes setiap hari. Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati. Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor situasional.


. FAKTOR-FAKTOR KONSEP DIRI DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 99)

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.

Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).

Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.

William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.

Beberapa teori hubungan antarmanusia:

1. Teori Self Disclosure
Pencetus teori ini adalah Joseph Luft. Sering disebut teori “Johari Window” atau Jendela Johari. Para pakar psikologi kepribadian menganggap bahwa model teoritis yang dia ciptakan merupakan dasar untuk menjelaskan dan memahami interaksi antarpribadi secara manusiawi. Garis besar model teoritis Jendela Johari dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Saya tahu Saya tidak tahu
Orang lain tahu 1. TERBUKA 2. BUTA
Orang lain tidak tahu 3. TERSEMBUNYI 4. TIDAK KENAL

Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain.

Bingkai 1, menunjukkan orang yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi.

Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.

Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.

Bingkai 4, disebut “bidang tidak dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri sendiri dan orang lain.
Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan berpikir para kaum humanistik.
Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.

Selasa, 10 Februari 2009

KOMUNIKASI HATI

Komunikasi hati,
Komunikasi hati adalah komunikasi yang dirasakan sampai ke hati atau sanubari, disampaikan oleh komunikator ke komunikan .. komunikasi hati akan terjadi secara efektif apabila komunikator bisa langsung melihat dengan panca inderanya terhadap komunikan, apakah seperti itu? atau berbentuk tingkah laku atau malah perasaan yang digambarkan dengan (senyuman, anggukan kepala atau lambaian tangan) saya masih bingung.. banyak kejadian yang dialami oleh saya sendiri.. kalau komunikasi tersampaikan baik verbal maupun non verbal akan mengakibatkan kesakitan hati yang akan berbekas malah terkadang tak tersembuhkan yang akhirnya menghancurkan komunikasi antara komunikator dan komunikan... saya berkeyakinan jika komunikasi hati sering diterapkan oleh kita, insyaalloh komunikasi akan menghasilkan suatu kenikmatan hati... tetapi sampai saat ini saya masih mencari solusi atau obat apakah yang paling ampuh untuk menjembatani terwujudnya komunikasi hati...

Selamat Datang

Selamat datang di blog cerita-cerita, kumpulan bahan-bahan kuliah, curahan hati nya Lenies:))