Kamis, 19 Februari 2009

HUMAN RELATIONS

Human Relations Movement refers to those researchers of organizational development who study the behavior of people in groups, in particular workplace groups. It originated in the 1920s' Hawthorne studies, which examined the effects of social relations, motivation and employee satisfaction on factory productivity. The movement viewed workers in terms of their psychology and fit with companies, rather than as interchangeable parts.
"The hallmark of human-relation theories is the primacy given to organizations as human cooperative systems rather than mechanical contraptions."
Barnard stressed the following:
1. Natural groups, in which social aspects take precedence over functional organizational structures
2. Upwards communication, by which communication is two way, from worker to chief executive, as well as vice versa.
3. Cohesive and good leadership is needed to communicate goals and to ensure effective and coherent decision making
(Wilson & Rosenfeld, Managing Organizations, McGraw Hill Book Company, London, p.9.)
It has become a concern of many companies to improve the job-oriented interpersonal skills of employees. The teaching of these skills to employees is referred to as "soft skills" training. Companies need their employees to be able to successfully communicate and convey information, to be able to interpret others' emotions, to be open to others' feelings, and to be able to solve conflicts and arrive at resolutions. By acquiring these skills, the employees, those in management positions, and the customer can maintain more compatible relationships.
(DuBrin, A. J. (2007). Human Relations Interpersonal Job-Oriented Skills, Pearson Prentice Hall, 9th. ed., New Jersey, p. 2.)
Institutes where human relations are studied include:
• the Tavistock Institute, co-publishers of the Human Relations journal;
• the NTL Institute for Applied Behavioral Science;
• The Oasis School of Human Relations (Oasis Press publishes human relations books and manuals);
• Trevecca Nazarene University, Bachelors Degree in Management and Human Relations for working adults;
• the University of Oklahoma offers a Bachelor of Arts in Human Relations, as well as a Master of Human Relations;
• the Concordia University (Montreal, Canada) offers a Bachelor of Arts in Human Relations, as well as a Master of Human Systems Intervention.


PENGERTIAN HUMAN RELATION (Onong, 2001: 138; Alo, 1997: 28, 42)
Hubungan manusiawi adalah terjemahan dari human relation. Ada juga orang yang menerjemahkannya menjadi “hubungan manusia” dan “hubungan antarmanusia”, yang sebenarnya tidak terlalu salah karena yang berhubungan satu sama lain adalah manusia. Hanya saja, di sini sifat hubungan tidak seperti orang berkomunikasi biasa, bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain, tetapi hubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.

Ditinjau dari ilmu komunikasi, hubungan manusiawi itu termasuk ke dalam komunikasi antarpersona (interpersonal communication) sebab berlangsung pada umumnya antara dua orang secara dialogis. Dikatakan bahwa hubungan manusiawi itu komunikasi karena sifatnya action oriented, mengandung kegiatan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang.

Komunikasi antar pribadi yang manusiawi berarti komunikasi yang telah memasuki tahap psikologis yang komunikator dan komunikannya saling memahami pikiran, perasaan dan melakukan tindakan bersama. Ini juga berarti bahwa apabila kita hendak menciptakan suatu komunikasi yang penuh dengan keakraban yang didahului oleh pertukaran informasi tentang identitas dan masalah pribadi yang bersifat sosial.

TEKNIK-TEKNIK HUMAN RELATION (Onong, 2001: 141)
“Hubungan manusiawi dapat dilakukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi, meniadakan salah pengertian dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia.” Demikian kata R.F. Maier dalam bukunya, Principle of Human Relation.

Dalam derajat intensitas yang tinggi, hubungan manusiawi dilakukan untuk menyembuhkan orang yang menderita frustasi. Frustasi timbul pada diri seseorang akibat suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan olehnya. Dalam kehidupan sehari-hari siapa pun akan menjumpai masalah: ada yang mudah dipecahkan, ada yang sukar. Akan tetapi masalah yang bagaimanapun akan diusahakan supaya hilang. Orang tidak akan membiarkan dirinya digumuli masalah. Dan masalah orang yang satu tidak sama dengan masalah orang lain. Sakit, tidak lulus ujian, lamaran pekerjaan tidak diterima, mobil rusak, istri menyeleweng, anak morfinis, tidak mampu menyelesaikan tugas, permohonan tidak diterima, dan lain-lain itu semua bisa menyebabkan seseorang frustasi.

Orang yang menderita frustasi dapat dilihat dari tingkah lakunya: ada yang merenung murung, lunglai tak berdaya, putus asa, mengasingkan diri, mencari dalih untuk menutupi kemampuannya, mencari kompensasi, berfantasi, atau bertingkah laku kekanak-kanakan. Yang lebih parah bagi seseorang ialah apabila frustasinya disertai agresi sehingga tingkah lakunya menjadi agresif. Ia mengambinghitamkan orang lain, menyebarkan fitnah, merusak benda, bahkan menyerang orang, baik dengan kata-kata yang menyakitkan maupun dengan tinju.

Apabila frustasi itu diderita oleh karyawan, apalagi jika jumlahnya banyak ini akan mengganggu jalannya organisasi akan menjadi rintangan bagi tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Tidaklah bijaksana jika seorang pemimpin menangani pegawai yang frustasi dengan tindakan kekerasan. Di sinilah pentingnya peranan hubungan manusiawi. Dia harus membawa penderita dari problem situation kepada problem solving behaviour.

Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bis adigunakan untuk membantu mereka yang menderita frustasi yakni apa yang disebut counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat, dapat di-Indonesia-kan menjadi konseling). Yang bertindak sebagai konselor (counselor) bisa pemimpin organisasi, kepala humas, atau kepala-kepala lainnya (kepala bagian, seksi, dan lain-lain).

Tujuan konseling ialah membantu konseli (counselee), yakni karyawan yang menghadapi masalah atau yang menderita frustasi, untuk memecahkan masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasihat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur, tidak akan dapat diambil langkah-langkah pemecahannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan berhasil apabila ia memahami benar-benar frame of reference konseli: pengalamannya, taraf pengetahuannya, agamanya, pandangan hidupnya, dan sebagainya.

Dalam kegiatan hubungan manusiawi terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah.

EVASI DAN HAMBATAN HUMAN RELATION (Onong, 2003: 50; Hafied: 131)
Hambatan human relation pada umumnya mempunyai dua sifat: objektif dan subjektif.
Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan terhadap jalannya human relation yang tidak disengaja dibuat oleh pihak lain tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan. Gangguan cuaca terhadap jalannya pidato radio, gangguan lalu lintas terhadap ceramah di sebuah tempat tepi jalan raya merupakan rintangan yang berisfat objektif. Rintangan atau hambatan yang bersifat objektif ini mungkin pula disebabkan oleh kurangnya kemampuan berkomunikasi misalnya “field of experience” yang tidak “in tune” antara komunikator dan komunikan, approach penyajian yang kurang baik, timing yang tidak cocok, penggunaan media yang keliru, dan sebagainya.

Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh orang lain sehingga merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi.

Dasar gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.

Faktor kepentingan dan prasangka merupakan faktor yang paling berat karena usaha yang paling sulit bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi dengan orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator atau menyajikan pesan komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu suatu kepentingan.

Apabila seseorang dikonfrontasikan dengan suatu bentuk komunikasi yang tidak disukainya karena mengganggu kedudukan pendidikan, atau kepentingannya maka orang tersebut biasanya mencemoohkan komunikasi tersebut atau mungkin pula mengelakkan dan secara acuh tak acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai hal yang sukar dimengerti.

Gejala mencemoohkan dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi, dinamakan evasion of communication.


FAKTOR-FAKTOR PERSEPSI INTERPERSONAL DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 80)

Persepsi kita bukan sekedar rekaman peristiwa atau objek. Komputer hanya mengolah input yang dimasukkan pada waktu punching. Bila pada kolom 12 ditulis tujuh, komputer tidak akan mengubahnya menjadi delapan. Tidak begitu persepsi manusia. Pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya, menentukan interpretasi kita pada sensasi. Bila objek atau peristiwa di dunia luar kita sebut distal stimuli dan persepsi kita tentang stimuli itu kita sebut percept maka percept tidak selalu sama dengan distal stimuli. Proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli disebut Fritz Heider sebagai constructive process. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi.

Pada tahun 1950-an di kalangan psikolog sosial timbul aliran baru (disebut “new look”) yang meneliti pengaruh faktor-faktor sosial seperti pengaruh interpersonal, nilai-nilai kultural dan harapan-harapan yang dipelajari secara sosial, pada persepsi individu, bukan saja terhadap objek-objek mati tetapi juga pada objek-objek sosial. Lahirlah istilah persepsi sosial yang didefinisikan sebagai “the role of socially generated influences on the basic processes of perception” (McDavid dan Harari, 1968: 173). Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an fokus penelitian tidak lagi pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi persepsi tetapi pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Mereka tidak lagi meneliti bagaimana tanggapan anda pada titik, balok, atau pohon beringin; mereka mempelajari bagaimana tanggapan anda pada istri anda, bos anda di kantor, atau teman anda di fakultas, bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda menjelaskan mengapa tokoh TV itu bunuh diri. Persepsi sosial kini memperoleh konotasi baru sebagai proses mempersepsi objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Untuk tidak mengaburkan istilah dan untuk menggarisbawahi manusia (dan bukan benda) sebagai objek persepsi, di sini kita menggunakan istilah persepsi interpersonal. Persepsi pada objek selain manusia kita sebut saja persepsi objek.

Manakah yang lebih cermat, persepsi objek atau persepsi interpersonal? Mana yang lebih besar kemungkinan salahnya? Mana yang lebih sulit? Kumpulkan sepuluh orang mahasiswa di ruangan kelas, suruh mereka mengamati papan tulis di muka, mintakan persepsi mereka tentang papan tulis itu. Besar dugaan kita persepsi mereka tidak begitu berbeda. Sekarang hadirkan di muka mereka Sarah Azhari, suruh mereka mengamatinya (mana tahan!) dan mintakan mereka memberikan komentar tentang Sarah Azhari, terangkan sifat-sifatnya. Besar dugaan kita, persepsi mereka akan sangat beragam. Mengapa?

Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek, stimuli ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik: gelombang, cahaya, gelombang suara, temperatur dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Sebelum berjumpa dengan Sarah Azhari, kita pernah melihatnya di layar film atau televisi, mendengar tentang dia dari surat kabar, majalah,a tau desas-desus. Adanya pihak ketiga yang menjadi mediasi stimuli, mengurangi kecermatan persepsi kita.

Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu. Kita mencoba memahami bukan saja tindakan tetapi juga motif tindakan itu. Dengan demikian stimuli kita menjadi sangat kompleks. Kita tidak akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain dan berbagai dimensi perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ini jelas membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek.

Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Perasaan anda dingin saja ketika anda memandang papan tulis; tetapi sedingin itu jugakah ketika anda memandang Sarah Azhari? Apakah Sarah Azhari juga akan diam saja ketika Anda memandangnya tidak berkedip? Dalam persepsi interpersonal faktor-faktor personal anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang tersebut menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung untuk keliru. Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentukan persepsi siapa yang keliru: persepsi anda atau persepsi saya.

Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda lihat minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di sudut sudah hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok hari. Kemarin anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih karena sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena ujian anda lulus. Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid. Perubahan ini kalau tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.

Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku mereka. Dari mana kita memperoleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang menyebabkan kesimpulan kita bahwa X bersifat Y? Kita sebenarnya adalah Sherlock Holmes setiap hari. Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati. Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor situasional.


. FAKTOR-FAKTOR KONSEP DIRI DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 99)

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.

Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).

Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.

William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.

Beberapa teori hubungan antarmanusia:

1. Teori Self Disclosure
Pencetus teori ini adalah Joseph Luft. Sering disebut teori “Johari Window” atau Jendela Johari. Para pakar psikologi kepribadian menganggap bahwa model teoritis yang dia ciptakan merupakan dasar untuk menjelaskan dan memahami interaksi antarpribadi secara manusiawi. Garis besar model teoritis Jendela Johari dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Saya tahu Saya tidak tahu
Orang lain tahu 1. TERBUKA 2. BUTA
Orang lain tidak tahu 3. TERSEMBUNYI 4. TIDAK KENAL

Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain.

Bingkai 1, menunjukkan orang yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi.

Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.

Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.

Bingkai 4, disebut “bidang tidak dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri sendiri dan orang lain.
Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan berpikir para kaum humanistik.
Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar